4. Kajian Teoritik
4.1
Novel
4.1.1 Pengertian
Novel
Kata
novel berasal dari bahasa Itali novella yang secara harfiah berarti
„sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek
dalam bentuk prosa‟. (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005: 9). Dalam bahasa Latin
kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang
berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel
ini baru muncul kemudian (Tarigan, 1995: 164).
Pendapat
Tarigan diperkuat dengan pendapat Semi (1993: 32) bahwa novel merupakan karya
fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan
disajikan dengan halus. Novel yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi
kehidupan yang lebih tegas, dengan roman yang diartikan rancangannya lebih luas
mengandung sejarah perkembagan yang biasanya terdiri dari beberapa fragmen dan
patut ditinjau kembali.
Sudjiman
(1998: 53) mengatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh
dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel
sebagai karya imajinatif mengugkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan
menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga
sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan
nilai-nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan pada pembaca
tentang budi pekerti yang luhur.
Saad
(dalam Badudu J.S, 1984 :51) menyatakan nama cerita rekaan untuk cerita-cerita
dalam bentuk prosa seperti: roman, novel, dan cerpen. Ketiganya dibedakan bukan
pada panjang pendeknya cerita, yaitu dalam arti jumlah halaman karangan,
melainkan yang paling utama ialah digresi, yaitu sebuah peristiwa-peristiwa
yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita peristiwa yang secara
tidak langsung berhubungan dengan cerita yang dimasukkan ke dalam cerita ini.
Makin banyak digresi, makin menjadi luas ceritanya.
Batos
(dalam Tarigan, 1995: 164) menyatakan bahwa novel merupakan sebuah roman,
pelaku-pelaku mulai dengan waktu muda, menjadi tua, bergerak dari sebuah adegan
yang lain dari suatu tempat ke tempat yang lain. Nurgiyantoro (2005: 15)
menyatakan, novel merupakan karya yang bersifat realistis dan mengandung nilai
psikologi yang mendalam, sehingga novel dapat berkembang dari sejarah,
surat-surat, bentuk-bentuk nonfiksi atau dokumen-dokumen, sedangkan roman atau
romansa lebih bersifat puitis. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa
novel dan romansa berada dalam kedudukan yang berbeda. Jassin (dalam
Nurgiyantoro, 2005: 16) membatasi novel sebagai suatu cerita yang bermain dalam
dunia manusia dan benda yang di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak
melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang dan lebih mengenai sesuatu
episode. Mencermati pernyataan tersebut, pada kenyataannya banyak novel
Indonesia yang digarap secara mendalam, baik itu penokohan maupun unsur-unsur intrinsik
lain.
Sejalan
dengan Nurgiyantoro, Hendy (1993: 225) mengemukakan bahwa novel merupakan prosa
yang terdiri dari serangkaian peristiwa dan latar. Ia juga menyatakan, novel
tidaklah sama dengan roman. Sebagai karya sastra yang termasuk ke dalam karya
sastra modern, penyajian cerita dalam novel dirasa lebih baik.
Novel biasanya memungkinkan adanya penyajian secara meluas (expands)
tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia
dalam masyarakat selalu menjadi topik utama (Sayuti, 2000: 6-7). Masyarakat
tentunya berkaitan dengan dimensi ruang atau tempat, sedangkan tokoh dalam
masyarakat berkembang dalam dimensi waktu semua itu membutuhkan deskripsi yang
mendetail supaya diperoleh suatu keutuhan yang berkesinambungan. Perkembangan
dan perjalanan tokoh untuk menemukan karakternya, akan membutuhkan waktu yang
lama, apalagi jika penulis menceritakan tokoh mulai dari masa kanak-kanak
hingga dewasa. Novel memungkinkan untuk menampung keseluruhan detail untuk
perkembangkan tokoh dan pendeskripsian ruang. Novel oleh Sayuti (2000: 7)
dikategorikan dalam bentuk karya fiksi yang bersifat formal. Bagi pembaca umum,
pengategorian ini dapat menyadarkan bahwa sebuah fiksi apapun bentuknya
diciptakan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, pembaca dalam mengapresiasi
sastra akan lebih baik. Pengategorian ini berarti juga bahwa novel yang kita
anggap sulit dipahami, tidak berarti bahwa novel tersebut memang sulit. Pembaca
tidak mungkin meminta penulis untuk menulis novel dengan gaya yang menurut
anggapan pembaca luwes dan dapat dicerna dengan mudah, karena setiap novel yang
diciptakan dengan suatu cara tertentu mempunyai tujuan tertentu pula.
Penciptaan
karya sastra memerlukan daya imajinasi yang tinggi. Menurut Junus (1989: 91),
mendefinisikan novel adalah meniru ”dunia kemungkinan”. Semua yang diuraikan di
dalamnya bukanlah dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang
secara imajinasi dapat diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya
sastra arus ada dalam dunia nyata , namun harus dapat juga diterima oleh nalar.
Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan
pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang
terkandung dalam novel tersebut.
Sebagian
besar orang membaca sebuah novel hanya ingin menikmati cerita yang disajikan
oleh pengarang. Pembaca hanya akan mendapatkan kesan secara umum dan bagian
cerita tertentu yang menarik. Membaca sebuah novel yang terlalu panjang yang
dapat diselesaikan setelah berulang kali membaca dan setiap kali membaca hanya
dapat menyelesaikan beberapa episode akan memaksa pembaca untuk mengingat
kembali cerita yang telah dibaca sebelumnya. Hal ini menyebabkan pemahaman
keseluruhan cerita dari episode ke episode berikutnya akan terputus.
Dari
beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita
fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya
dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan
semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang adalah realitas
atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.
4.1.2
Ciri-ciri Novel
Hendy (1993: 225) menyebutkan ciri-ciri novel
sebagai berikut.
a.
Sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek
dan lebih pendek dari roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa
bagian.
b.
Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada
dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang.
c.
Penyajian berita berlandas pada alur pokok atau
alur utama yang batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur
penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri).
d.
Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema
utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut.
e.
Karakter tokoh-tokoh utama dalam novel
berbeda-beda. Demikian juga karakter tokoh lainnya. Selain itu, dalam novel
dijumpai pula tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang
digambarkan berwatak tetap sejak awal hingga akhir. Tokoh dinamis sebaliknya,
ia bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap.
Pendapat
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah cerita yang
lebih panjang dari cerita pendek, diambil dari cerita masyarakat yang diolah
secara fiksi, serta mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Ciri-ciri novel
tersebut dapat menarik pembaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang
terdapat di dalamnya akan menjadikan lebih hidup.
4.1.3
Macam-macam Novel
Ada
beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman tema dan
kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Nurgiyantoro
(2005: 16) membedakan novel menjadi novel serius dan novel popular.
a.
Novel Populer
Sastra
populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali
kehidupan dalam serba kemungkinan. Sastra popular menyajikan kembali
rekaman-rekaman kehidupan dengan tujuan pembaca akan mengenali kembali
pengalamannya. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang
pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya (Kayam dalam Nurgiyantoro, 2005: 18).
Heryano dalam Salman (2009: 2) mengungkapkan ragam
kesusastraan Indonesia, meliputi: (1) kesusastraan yang diresmikan, diabsahkan,
(2) kesusastraan yang dilarang, (3) kesusastraan yang diremehkan, dan (4)
kesusastraan yang dipisahkan. Kesusastraan yang diresmikan (konon) adalah
kesusastraan yang sejauh ini banyak dipelajari di pendidikan (tinggi).
Kesusastraan yang dilarang adalah karya-karya yang dianggap menggangu status
quo (kekuasaan) seperti yang telah terjadi seperti zaman Balai Pustaka
yaitu karya Marco Kartodikromo. Pada zaman Orde Baru, karya-karya Pramudya
Ananta Toer atau kasus cerpen karya Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, menjadi
contoh yang terlarang pula. Sementara itu, karya sastra yang dipisahkan adalah
karya sastra daerah yang ditulis dalam bahasa daerah. Dalam posisi itu, karya
sastra yang diremehkan adalah karya sastra yang dianggap populer, sastra hiburan
Sasra populer adalah perekam kehidupan dan tidak
banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Sastra
popular menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan dengan tujuan pembaca akan
mengenali kembali pengalamannya. Oleh karena itu, sastra populer yang baik
banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya (Kayam dalam
Nurgiyantoro, 2005: 18).
Heryanto
dalam Salman (2009: 2) mengungkapkan ragam kesusastraan Indonesia, meliputi:
(1) kesusastraan yang diresmikan, diabsahkan, (2) kesusastraan yang dilarang,
(3) kesusastraan yang diremehkan, dan (4) kesusastraan yang dipisahkan.
Kesusastraan yang diresmikan (konon) adalah kesusastraan yang sejauh ini banyak
dipelajari di pendidikan (tinggi). Kesusastraan yang dilarang adalah
karya-karya yang dianggap menggangu status quo (kekuasaan) seperti yang
telah terjadi seperti zaman Balai Pustaka yaitu karya Marco Kartodikromo. Pada
zaman Orde Baru, karya-karya Pramudya Ananta Toer atau kasus cerpen karya Ki
Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, menjadi contoh yang terlarang pula.
Sementara itu, karya sastra yang dipisahkan adalah karya sastra daerah yang
ditulis dalam bahasa daerah. Dalam posisi itu, karya sastra yang diremehkan
adalah karya sastra yang dianggap populer, sastra hiburan.
Berbicara
tentang sastra populer, Kayam dalam Nurgiyantoro (2005: 18) menyebutkan bahwa
sastra populer adalah perekam kehidupan dan tak banyak memperbincangkan kembali
kehidupan dalam serba kemungkinan . ia menyajikan kembali rekaan-rekaan
kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali
pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah
menceritakan pengalamannya dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena
itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk
mengidentifikasikan dirinya.
Hal
seperti itu dapat dilihat dari fenomena yang terjadi pada novel Cintapucino karya
Icha Rahmanti yang tahun lalu sempat diliris ke dalam bentuk film. Banyak
remaja khsusnya
remaja
puti yang mengungkapkan kesamaan kejadian di masa SMA yang mirip dengan yang
digambarkan oleh Icha Rahmanti dalam novelnya
Adapun
pengkategorian novel sebagai novel serius atau novel populer bukanlah menjadi
hal baru dalam dunia sastra. Usaha ini tidak mudah dilakukan karena bersifat
riskan. Selain dipengaruhi oleh hal subjektif yang muncul dari pengamat, juga
banyak faktor dari luar yang menentukan. Misalnya, sebuah novel yang
diterbitkan oleh penerbit yang biasa menerbitkan karya sastra yang telah mapan,
karya tersebut akan dikategorikan sebagai karya yang serius, karya yang
bernilai tinggi, padahal pengamat belum membaca isi novel.
Kayam
dalam Nurgiyantoro (2005: 17) menyebutkan kata ”pop” erat diasosiasikan dengan
kata ”populer”, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk ”selera
populer” yang kemudian dikenal sebagai ”bacaan populer”. Jadilah istilah pop
sebagai istilah baru dalam dunia sastra kita.
Nurgiyantoro
juga menjelaskan bahwa novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan
banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel jenis ini
menampilkan masalah yang aktual pada saat novel itu muncul. Pada umumnya, novel
populer bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepet ketinggalan zaman,
dan tidak memaksa orang untuk membacanyasekali lagi seiring dengan munculnya
novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya (2005: 18). Di sisi
lain, novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena
semata-mata menyampaikan cerita (Stanton dalam Nurgiyantoro 2005: 19). Novel
populer tidak mengejar efek estetis seperti yang terdapat dalam novel serius.
Beracuan dari beberapa pendapat di atas, ditarik sebuah simpulan bahwa novel
popular adalah cerita yang bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang
mudah ditelusuri, gaya bahasa yang sangat mengena, fenomena yang diangkat
terkesan sangat dekat.
Hal ini
pulalah yang menjadi daya tarik bagi kalangan remaja sebagai kalangan yang
paling menggemari novel populer. Novel populer juga mempunyai jalan cerita yang
menarik, mudah diikuti, dan mengikuti selera pembaca.
Selera
pembaca yang dimaksudkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegemaran
naluriah pembaca, seperti motif-motif humor dan heroisme sehingga pembaca
merasa tertarik untuk selalu mengikuti kisah ceritanya..
b.
Novel Serius
Novel
serius atau yang lebih dikenal dengan sebutan novel sastra merupakan jenis
karya sastra yang dianggap pantas dibicarakan dalam sejarah sastra yang
bermunculan cenderung mengacu pada novel serius. Novel serius harus sanggup
memberikan segala sesuatu yang serba mungkin, hal itu yang disebut makna sastra
yang sastra. Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada
pembaca, juga mempunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak
pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan.
Berbeda
dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra tidak
bersifat mengabdi pada pembaca. Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema
yang lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan sesuatu secara implisit
sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca. Nurgiyantoro (2005: 18)
mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan
baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu.
Novel jenis ini, di samping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan
memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak
pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang
permasalahan yang dikemukakan.
Kecenderungan
yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada
novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan popularitas
novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan dari waktu ke waktu.
Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan
Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada
dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan
zaman (Nurgiyantoro, 2005:21). Beracuan dari pendapat di atas, ditarik sebuah
simpulan bahwa novel serius adalah novel yang mengungkapkan sesuatu yang baru
dengan cara penyajian yang baru pula. Secara singkat disimpulkan bahwa unsur
kebaruan sangat diutamakan dalam novel serius. Di dalam novel serius, gagasan
diolah dengan cara yang khas. Hal ini penting mengingat novel serius
membutuhkan sesuatu yang baru dan memiliki ciri khas daripada novel-novel yang
telah dianggap biasa. Sebuah novel diharapkan memberi kesan yang mendalam
kepada pembacanya dengan teknik yang khas ini.
4.2
Hakikat Gaya Bahasa
Sebelum
dijabarkan lebih lanjut tentang hakikat gaya bahasa, terlebih dahulu akan
dijelaskan secara singkat mengenai stilistika. Secara etimologis stylistics berkaitan
dengan style (gaya), dengan demikian stylistics dapat
diterjemahkan dengan ilmu tentang gaya yang erat hubungannya dengan linguistik.
Linguistik
merupakan ilmu yang berupaya memberikan bahasa dan menunjukkan bagaimana cara
kerjanya, sedangkan stylistics merupakan bagian dari linguistik yang
memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, yang walaupun tidak
secara eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra. (Tuner dalam Pradopo,
2005: 161).
Gaya
dalam ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya
sastra (Pradopo, 2005: 161). Sebelum ada stilistika, bahasa karya sastra sudah
memiliki gaya yang memiliki keindahan.
Gaya
adalah segala sesuatu yang “menyimpang” dari pemakaian biasa. Penyimpangan
tersebut bertujuan untuk keindahan. Keindahan ini banyak muncul dalam karya
sastra, karena sastra memang syarat dengan unsur estetik. Segala unsur estetik
ini menimbulkan manipulasi bahasa, plastik bahasa dan kado bahasa sehingga
mampu membugkus rapi gagasan penulis. (Endraswara, 2003: 71)
Dapat
dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu
bahasa tertentu (Pradopo, 2005: 162). Hubungan antara bahasa dan sastra sering
bersifat dialektis. Sastra sering mempengaruhi bahasa sementara itu sastra juga
tidak mungkin diisolasi dari pengaruh sosial dan intelektualitas.
Analisis
stilistika digunakan untuk menemukan suatu tujuan estetika umum yang tampak
dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya. Dengan demikian, analisis
stilistika dapat diarahkan untuk membahas isi.
Penelitian
stilistika berdasarkan asumsi bahwa sastra mempunyai tugas mulia (Endraswara,
2003: 72). Lebih lanjut, Suwardi menambahkan bahwa bahasa memiliki pesan
keindahan dan sekaligus membawa makna. Gaya bahasa sastra berbeda dengan gaya
bahasa sehari-hari. Gaya bahasa sastra digunakan untuk memperindah teks sastra.
Istilah gaya
diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus
dan mengandung arti leksikal „alat untuk menulis‟ (Aminuddin, 2009: 72).
Aminuddin juga menjelaskan bahwa dalam karya sastra istilah gaya mengandung
pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan
media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Sejalan dengan
pengertian tersebut (Scharbach dalam Aminuddin 2009: 72) menyebut gaya sebagai
hiasan, sebagai sesuatu yang suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah gemulai
serta sebagai perwujudan manusia itu sendiri. Bagaimana seorang pengarang
mengungkapkan gagasannya dalam wacana ilmiah dengan cara pengarang dalam kreasi
cipta sastra, dengan demikian akan menunjukkan adanya perbedaan meskipun dua
pengarang itu berangkat dari satu ide yang sama. Beracuan dari beberapa
pendapat di atas gaya dapat disimpulkan dengan tatanan yang bersifat lugas,
jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna konotatif.
Sedangkan pengarang dalam wacana sastra justru akan menggunakan pilihan kata
yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif.
Selain itu, tatanan kalimat-kalimatnya juga menunjukkkan adanya variasi dan
harmoni sehinnga mampu menuansakan keindahan dan bukan hanya nuansa makna
tertentu saja. Oleh sebab itulah masalah gaya dalam sastra akhirnya juga
berkaitan erat dengan masalah gaya dalam bahasa itu sendiri.
4.2.1
Pengertian Gaya Bahasa
Sudjiman
(1998: 13) menyatakan bahwa sesungguhnya gaya bahasa dapat digunakan dalam
segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra,
karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks
tertentu
oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya
bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan
citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat
dalam sebuah karya sastra.
Jorgense
dan Phillips (dalam Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa gaya bahasa bukan sekedar
saluran, tetapi alat yang menggerakkan sekaligus menyusun kembali dunia sosial
itu sendiri. Lebih jauh menurut Simpson (dalam Ratna, 2009: 84) gaya bahasa
baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan
bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Stilistika dengan demikian memperkaya
cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi kultural
pada umumnya.
Retorika
merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang diperoleh
melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana seorang pengarang
menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan
bahasa dalam sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk itu, bentuk
pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu mendukung gagasan secara tepat yang
memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan
bentuk-bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi dan kreatifitas
pengarang dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat menentukan keefektifan
wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa bahasa akan
menentukan nilai kesastraan yang akan diciptakan.
Karya
sastra adalah sebuah wacana yang memiliki kekhasan tersendiri. Seorang
pengarang dengan kreativitasnya mengekspresikan gagasannya dengan menggunakan
bahasa dengan memanfaatkan semua media yang ada dalam bahasa. Gaya berbahasa
dan cara pandang seorang pegarang dalam memanfaatkan dan menggunakan bahasa
tidak akan sama satu sama lain dan tidak dapat ditiru oleh pengarang lain
karena hal ini sudah menjadi bagian dari pribadi seorang pengarang. Kalaupun
ada yang meniru pasti akan dapat ditelusuri sejauh mana persamaan atau
perbedaan antara karya yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui
mana karya yang hanya sebuah jiplakan atau imitasi.
Pemilihan
bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan berkaitan fungsi dan konteks
pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam sastra selalu dikaitkan dengan konteks yang
melatar belakangi pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua gaya bahasa itu
berkaitan langsung dengan latar sosial dan kehidupan di mana bahasa itu
digunakan.
Bahasa
sastra adalah bahasa khas (Endraswara, 2003: 72). Khas karena bahasanya telah
direkayasa dan dioles sedemikian rupa. Dari polesan itu kemudian muncul gaya
bahasa yang manis. Dengan demikian seharusnya pemakaian gaya bahasa harus
didasari penuh oleh pengarang. Bukan hanya suatu kebetulan gaya diciptakan oleh
pengarang demi keistimewaan karyanya. Jadi dapat dikatakan jika pengarang
pandai bersilat bahasa, kaya, dan mahir dalam menggunakan stilistika maka
karyanya akan semakin mempesona dan akan lebih berbobot. Stilstik adalah
penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra yang akan membangun
aspek keindahan karya sastra.
Pradopo
(dalan Endraswara, 2003: 72) menyatakan bahwa nilai seni sastra ditentukan oleh
gaya bahasanya. Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian seorang pengarang
dalam mengolah kata-kata. Jangkauan gaya bahasa sangat luas, tidak hanya
menyangkut masalah kata tetapi juga rangkaian dari kata-kata tersebut yang
meliputi frasa, klausa, kalimat, dan wacana secara keseluruhan (Keraf, 2004:
112) termasuk kemahiran pengarang dalam memilih ungkapan yang menentukan
keberhasilan, keindahan, dan kemasuk akalan suatu karya yang merupakan hasil
ekspresi diri (Sayuti, 2000: 110). Sejalan dengan Sayuti, Endraswara (2003: 73)
juga menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan seni yang dipengaruhi oleh nurani.
Melalui gaya bahasa sastrawan menuangkan idenya. Bagaimanapun perasaan saat
menulis, jika menggunakan gaya bahasa, karya yang dihasilkan akan semakin
indah. Jadi, dapat dikatakan gaya bahasa adalah pembungkus ide yang akan
menghaluskan teks sastra. Melalui gaya bahasa pembaca dapat menilai kepribadian
dan kemampuan pengarang, semakin baik gaya bahasa yang digunakan, semakin baik
pula penilaian terhadapnya. Sering dikatakan bahwa bahasa adalah pengarang yang
terekam dalam karya yang dihaslkannya. Oleh sebab itu setiap pengarang
mempunyai gayanya masing-masing. Zhang (1995: 155) menjelaskan bahwa ”Literary
stylistics is a discipline mediating between linguistics and literary
criticism. Its concern can be simply and broadly defined as thematically and
artistically motivated verbal choices” (“gaya bahasa sastra adalah disiplin
mediasi antara linguistik dan kritik sastra. Disisi lain dapat sederhana dan
secara luas didefinisikan sebagai tematik dan artistik termotivasi pilihan
verbal”). Dengan kata lain, objek tersebut adalah untuk mengetahui nilai-nilai
tematik dan estetika yang dihasilkan oleh linguistik bentuk, nilai-nilai yang
menyampaikan visi penulis, nada dan sikap, yang bisa meningkatkan afektif atau
kekuatan emotif pesan yang memberikan sumbangan untuk karakterisasi dan membuat
fiksi realitas fungsi lebih efektif dalam kesatuan tematik.
Beberapa
pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian gaya bahasa
atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk
tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini terletak pada pemilihan
kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.
4.2.2
Jenis-jenis Gaya Bahasa
Gaya
bahasa adalah penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapat efek-efek
tertentu. Oleh karena itu, penelitian gaya bahasa terutama dalam karya sastra
yang diteliti adalah wujud (bagaimana bentuk) gaya bahasa itu dan efek apa yang
ditimbulkan oleh penggunaannya atau apa fungsi penggunaan gaya bahasa tersebut
dalam karya sastra. Gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan meskipun tidaklah
terlalu luar biasa, namun unik karena selain dekat dengan watak dan jiwa
penyair juga membuat bahasa digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya.
Dengan demikian, gaya lebih merupakan pembawaan pribadi. Gaya bahasa dipakai
pengarang hendak memberi bentuk terhadap apa yang ingin disampaikan. Dengan
gaya bahasa tertentu pula seorang pengarang dapat mengekalkan pengalaman
rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh hati
pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari dalam batin seorang pengarang
maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara
tidak langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut.
Demikian pula sebaliknya, seorang yang melankolis memiliki kecenderungan
bergaya bahasa yang romantis. Seorang yang sinis member kemungkinan gaya
bahasaya sinis dan ironis. Seorang yang gesit dan lincah juga akan memilki gaya
bahasa yang hidup dan lincah.
Perrin
(dalam Tarigan, 1995: 141) membedakan gaya bahasa menjadi tiga. Gaya bahasa
tersebut yaitu: (1) perbandingan yang meliputi metafora, kesamaan, dan analogi;
(2) hubungan yang meliputi metonomia dan sinekdoke; (3) pernyataan yang meliputi
hiperbola, litotes, dan ironi.
Moeliono
(1989: 175) membedakan gaya bahasa menjadi tiga. Gaya bahasa tersebut antara
lain: (1) perbandingan yang meliputi perumpamaan metafora, dan penginsanan; (2)
pertentangan yang meliputi hiperbola, litotes, dan ironi; (3) pertautan yang
meliputi metonomia, sinekdoke, kilatan, dan eufemisme. Sementara itu, Ade
Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 21-30) berpendapat gaya bahasa dibagi
menjadi lima golongan, yaitu: (1) gaya bahasa penegasan, yang meliputi
repetisi, paralelisme; (2) gaya bahasa perbandingan, yang meliputi hiperbola,
metonomia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusio, simile,
asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym, dan hipalase; (3) gaya
bahasa pertentangan mencakup paradoks, antithesis, litotes, oksimoron,
hysteron, prosteron, dan okupasi; (4) gaya bahasa sidiran meliputi ironi,
sinisme, innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan antifarsis; (5) gaya bahasa
perulangan meliputi aliterasi, antanaklasis, anaphora, anadiplosis, asonansi,
simploke, nisodiplosis, epanalipsis, dan epuzeukis”. Beberapa pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat dibedakan menjadi lima kelompok,
yaitu: (1) gaya bahasa berbandingan, (2) gaya bahasa perulangan, (3) gaya
bahasa sindiran, (4) gaya bahasa pertentangan, (5) gaya bahasa penegasan.
Adapun penjelasan masing-masing gaya bahasa di atas adalah sebagai berikut.
1.
Gaya Bahasa Perbandingan
Pradopo
(2005: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang
menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding
seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan
kata-kata pembanding lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
perbandingan adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal
yang dianggap mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang
dianggap sama. Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: hiperbola,
metonomia, personifikasi, pleonasme, metafora, sinekdoke, alusi, simile,
asosiasi, eufemisme, epitet, eponym, dan hipalase.
a.
Hiperbola
Maulana
(2008: 2) berpendapat bahwa hiperbola yaitu sepatah kata yang diganti dengan
kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dari pada kata. Keraf (2004:
135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Dari
pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang
mengandung pernyataan yang berlebihan dari kenyataan, contoh: hatiku hancur mengenang
dikau, berkeping-keping jadinya.
b. Metonomia
Keraf
(2004: 142) berpendapat bahwa metonomia adalah suatu gaya bahasa yang
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Sementara iitu, Altenberd (dalam Pradopo, 2005:
77) mengatakan bahwa metonomia adalah penggunaan bahasa sebagai sebuah atribut
sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya
untuk menggantikan objek tersebut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa metonomia adalah penamaan terhadap suatu benda dengan menggunakan nama
yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benta tersebut, contoh: ayah
membeli kijang.
c. Personifikasi
Keraf
(2004: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan
yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Personifikasi juga dapat diartikan
majas yang menerapakan sifat-sifat manusia terhadap benda mati Maulana (2008:
1). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah
gaya bahasa yang memperamalkan benda-benda mati seolah-olah hidup atau
mempunyai sifat kemanusiaan. Berdasarkan pendapat tersebut gaya bahasa
personifikasi mempunyai contoh: pohon melambai-lambai diterpa angin.
d.
Perumpamaan
Moeliono
(1989: 175) berpendapat bahwa perumpamaan adalah gaya bahasa perbandingan yang
pada hakikatnya membandingkan dua hal yang berlainan dan yang dengan sengaja
kita anggap sama. Gaya bahasa perumpamaan dapat disimpulka yaitu perbandingan
dua hal yang hakikatnya berlainan dan yang sengaja dianggap sama. Terdapat kata
laksana, ibarat, dan sebagainya yang dijadikan sebagai penghubung kata yang
diperbandingkan. Dengan kata lain, setiap kalimat yang dipakai dalam gaya
bahasa perumpamaan, tidak dapat disatukan, dan hanya bisa dibandingkan. Hal
tersebut akan terlihat jelas pada contoh berikut ini: setiap hari tanpamu laksana
buku tanpa halaman.
e. Pleonasme
Keraf
(2004: 133) berpendapat bahwa pleonasme adalah semacam acuan yang mempergunakan
kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu gagasan
atau pikiran. Apabila kata yang berlebihan tersebut dihilangkan maka tidak
mengubah makna/ arti. Gaya bahasa pleonasme dapat disimpulkan menggunakan dua
kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk
penegas arti maupun hanya sebagai gaya, contoh: ia menyalakan lampu kamar, membuat
supaya kamar menjadi terang.
f.
Metafora
Keraf
(2004: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat.
Sementara itu menurut Maulana (2008: 1) metafora juga dapat diartikan dengan
majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain. Kedua benda yang
diperbandingkan itu mempunyai sifat yang sama, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan secara
implisit yang tersusun singkat, padat, dan rapi; contoh: generasi muda adalah
tulang punggung negara.
g.
Alegori
Keraf
(2004: 140) berpendapat bahwa alegori adalah gaya bahasa perbandingan yang
bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Gaya bahasa
alegori dapat disimpulkan kata yang digunakan sebagai lambang yang untuk
pendidikan serta mempunyai kesatuan yang utuh, contoh: hati-hatilah kamu dalam mendayung
bahtera rumah tangga, mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan badai
dan gelombang. Apabila suami istri, antara nahkoda dan
jurumudinya itu seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya ia akan
sampai ke pulau tujuan.
h. Sinekdoke
Keraf
(2004: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif
yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Dari pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menggunakan nama
sebagian untuk seluruhnya atau sebaliknya, contoh: akhirnya Maya menampakkan batang
hidungnya.
i.
Alusio
Keraf
(2004: 141) berpendapat bahwa alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan
kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Dari pendapat di tersebut dapat
disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk sesuatu secara tidak
langsung kesamaan antara orang, peristiwa atau tempat, contoh: memberikan
barang atau nasihat seperti itu kepadanya, engkau seperti memberikan bunga
kepada seekor kera.
j.
Simile
Keraf
(2004: 138) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat
eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Sementara
itu simile atau perumpamaan dapat diartikan suatu majas membandingkan dua
hal/benda dengan menggunakan kata penghubung, contoh: caranya bercinta selalu
mengagetkan, seperti petasan.
k.
Asosiasi
Maulana
(2008: 2) berpendapat asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat
memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang
dilukiskan. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa asosiasi adalah gaya bahasa
yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan
yang digambarkan, contoh: wajahnya pucat pasi bagaikan bulan
kesiangan.
l.
Eufemisme
Keraf
(2004: 132) berpendapat bahwa eufemisme adalah acuan berupa ungkapan-ungkapan
yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,
menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Dari
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah gaya bahasa yang
berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan maksud memperhalus, contoh:
kaum tuna wisma makin bertambah saja di kotaku.
m. Epitet
Keraf
(2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu
sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu
adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang
atau suatu barang. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan epitet adalah gaya
bahasa berwujud seseorang atau suatu benda tertentu sehingga namanya dipakai
untuk menyatakan sifat itu, contoh: raja siang sudah muncul, dia belum bangun
juga (matahari).
n.
Eponim
Keraf
(2004: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang
yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu
dipakai untuk menyatakan sifat. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
eponim adalah pemakaian nama seseorang yang dihubungkan berdasarkan sifat yang
sudah melekat padanya, contoh: kecantikannya bagai Cleopatra.
o. Hipalase
Keraf
(2004: 142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa yang
mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yag seharusnya
dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksud pendapat di atas adalah hipalase
merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata
tersebut untuk menjelaskan kata yang lain., contoh: dia berenang di atas ombak
yang gelisah. (bukan ombak yang gelisah, tetapi manusianya).
p.
Pars pro
toto
Keraf
(2004: 142) Pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian untuk
keseluruhaan. Maksud pendapat tersebut adalah pars pro toto merupakan suatu
bentuk penggunaan bahasa sebagai pengganti dari wakil keseluruhan, contoh: sudah
tiga hari, dia tidak kelihatan batang hidungnya.
2. Gaya
Bahasa Perulangan
Ade
Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002: 28) berpendapat bahwa gaya bahasa
perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu yang
diulang bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa
perulangan ini meliputi: aliterasi, anadiplosis, epanalipsis, epizeukis,
mesodiplosis, anafora.
a. Aliterasi
Keraf
(2004: 130) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud
perulangan konsonan yang sama. Suyoto (2008: 2) alitersi juga dapar diartikan
sebagai pengulangan bunyi konsonan yang sama. Jadi aliterasi adalah gaya bahasa
yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya, contoh:
Malam kelam suram hatiku semakin muram.
b. Anadiplosis
Keraf
(2004: 128) berpendapat bahwa anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari
suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau
kalimat berikutnya. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama dari suatu kalimat
menjadi kata terakhir, contoh: dalam hati ada rasa, dalam rasa
ada cinta, dalam cinta, ada apa.
c. Epanalipsis
Keraf
(2004: 128) berpendapat bahwa epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata
terakhir dari baris, klausa, atau kalimat mengulang kata pertama. Dari pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa epanalipsis adalah pemngulangan kata pertama
untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat, contoh: kita gunakan
akal pikiran kita.
d. Epizeukis
Keraf
(2004: 127) berpendapat bahwa yang dinamkan epizeukis adalah repetisi yang
bersifat langsung, artinya kata-kata yang dipentingkan diulang beberapa kali
berturut-turut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epizeukis adalah
pengulangan kata yang bersifat langsung secara berturut-turut untuk menegaskan
maksud, contoh: kita harus terus semangat, semangat, dan terus semangat
untuk menghadapi kehidupan ini.
e. Mesodiplosis
Keraf
(2004: 128) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah
baris atau beberapa kalimat berurutan. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang kata di
tengah-tengah baris atau kalimat. contoh: Hidup bagaikan surga kalau
dianggap surga. Hidup bagaikan neraka kalau dianggap neraka. Namun, yang
penting hidup bagai sandiwara sementara.
f.
Anafora
Keraf
(2004: 127) berpendapat bahwa anaphora adalah repetisi yang berwujud
pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada
kalimat berikutnya, contoh: Kita tidak boleh lengah, Kita tidak
boleh kalah. Kita harus tetap semangat.
3. Gaya
Bahasa Sindiran
Keraf
(2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi adalah suatu
acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa
yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Jadi yang dimaksud dengan gaya
bahasa sindiran adalah bentuk gaya bahasa yang rangkaian kata-katanya berlainan
dari apa yang dimaksudkan. Gaya bahasa sindiran ini meliputi: melosis, sinisme,
ironi, innuendo, antifrasis, sarkasme, satire.
a. Melosis
Ade
Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 27) berepndapat bahwa melosis adalah gaya
bahasa yang mengandung pernyataan yang merendah dengan tujuan menekankan atau
mementingkan hal yang dimaksud agar lebih berkesan dan bersifat ironis. Jadi
yang dimaksud melosis adalah gaya bahasa sindiran yang merendah dengan tujuan
menekankan suatu yang dimaksud, contoh: tampaknya dia sudah lelah di atas,
sehingga harus lengser.
b. Sinisme
Keraf
(2004; 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran
yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikglasan dan
ketulusan hati. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah
gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar, contoh: tak usah
kuperdengarkan suaramu yang merdu dan memecahkan telinga itu.
c. Ironi
Hadi
(2008: 2) berpendapat bahwa ironi adalah gaya bahasa yang berupa sindiran halus
berupa pernyataan yang maknanya bertentangan dengan makna sebenarnya. Pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa ironi adalah gaya bahasa yang bermakna tidak
sebenarnya dengan tujuan untuk menyindir, contoh: pagi benar engkau datang,
Hen! Sekarang, baru pukul 11.00
d. Innuendo
Keraf
(2004: 144) berpendapat bhwa innuendo adalah semacam sindiran dengan
mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengungkapkan kenyataan lebih kecil
dari yang sebenarnya, contoh: dia berhasil naik pangkat dengan sedikit menyuap.
e.
Antifrasis
Keraf
(2004: 132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud
penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap ironi
sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan
sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa
dengan kata-kata yang bermakna kebalikannya dengan tujuan menyindir, contoh:
lihatlah si raksasa telah tiba (si cebol).
f. Sarkasme
Keraf
(2004: 143) berpendapat bahwa sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari
ironi yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Jadi yang dimaksud
dengan sarkasme adalah gaya bahasa penyindiran dengan menggunakan kiata-kata
yang kasar dan keras, contoh: Mulutmu berbisa bagai ular kobra.
g. Satire
Satire
adalah gaya bahasa yang berbentuk ungkapan dengan maksud menertawakan atau
menolak sesuatu (Keraf, 2004: 144). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk mencari kebenarannya
sebagai suatu sindiran, contoh: sekilas tampangnya seperti anak berandal, tapi
kita jangan langsung menuduhnya, jangan melihat dari penampilan luarnya saja.
4.
Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya
bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan
kata-kata yang ada. Gaya bahasa pertentangan meliputi: litotes, paradoks,
histeron prosteron, antithesis, oksimoron, dan okupasi.
a. Litotes
Keraf
(2004: 132) berpendapat bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung
pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya. Bagas (2007: 1)
juga berpendapat bahwa litotes dapat diartikan sebagai ungkapan berupa
mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri. Dapat disimpulkan bahwa
litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan dikurangi (dikecilkan)
dari makna yang sebenarnya, contoh: mampirlah ke rumah saya yang berapa luas.
b. Paradoks
Keraf
(2004: 2004: 136) mengemukakan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung pertentangan yang ada dengan fakta-fakta yang ada. Hadi (2008: 2)
juga berpendapat paradoks dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dari pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya
mengandung pertentangan dengan fakta yang ada, contoh: musuh sering merupakan
kawan yang akrab.
c. Histeron Prosteron
Histeron
prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan makna kebalikan dari sesuatu yang
logis atau dari kenyataan yang ada (Keraf, 2004: 133). Jadi dapat dikatakan
bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan makna kebalikannya
yang dianggap bertentangan dengan kenyataan yang ada, contoh: jalan kalian
sangat lambat seperti kuda jantan.
d. Antitesis
Keraf
(2004: 126) berpendapat bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang
mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata
atau kelompok kata yang berlawanan. Hadi (2008: 7) juga berpendapat bahwa
antitesis dapat diartikan dengan gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang
berlawanan. Jadi dapat disimpulkan bahwa antithesis adalah gaya bahasa yang
kata-katanya merupakan dua hal yang bertentangan, contoh: suka duka kita akan
selalu bersama.
e. Oksimoron
Keraf
(2004: 136) oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan
kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Suyoto (2008:2) berpendapat
bahwa oksimoron juga dapat diartikan mempertentangkan secara berlawanan bagian
demi bagian. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa oksimoron adalah
gaya bahasa yang menyatakan dua hal yang bagian-28 bagiannya saling
bertentangan, contoh: kekalahan adalah kemenangan yang tertunda.
f.
Okupasi
Hadi
(2008: 2) berpendapat okupasi merupakan gaya bahasa yang melukiskan sesuatu
dengan bantahan, tetapi kemudian diberi tambahan penjelasan atau diakhiri
dengan kesimpulan. . Jadi dapat dijelaskan bahwa okupasi adalah gaya bahasa
yang isinya bantahan terhadap sesuatu tetapi diikuti dengan penjelasan yang
mendukung, contoh: merokok itu merusak kesehatan, akan tetapi si perokok tidak
dapat menghentikan kebiasaannya. Maka, muncullah pabrik-pabrik rokok karena
untungnya banyak.
5.
Gaya Bahasa Penegasan
Gaya
bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya dalam satu
baris kalimat. Gaya bahasa penegasan meliputi: paralelisme, erotesis, klimaks,
repetisi, dan anti klimaks .
a. Paralelisme
Suyoto
(2008:3) berpendapat bahwa paralelisme dapat diartikan sebagai pengulangan
ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna. Jadi dapat dijelaskan
bahwa pararelisme adalah salah satu gaya bahasa yang berusaha mengulang kata
atau yang menduduki fungsi gramatikal yang sama untuk mencapai suatu
kesejajaran, contoh: hidup adalah perjuangan, hidup adalah persaingan, hidup
adalah kesia-siaan.
b. Epifora
Keraf (2004:
136) berpendapat bahwa epifora adalah pengulangan kata pada akhir kalimat atau
di tengah kalimat. Simpulan gaya bahasa epifora adalah gaya bahasa dengan
mengulang kata di akhir atau tengah kalimat, contoh: Yang kurindu adalah
kasihmu. Yang kudamba adalah kasihmu.
c.
Erotesis
Keraf
(2004: 134) mengemukakan bahwa erotesis adalah semacam pertanyaan yang
dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang
lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya
suatu jawaban. Simpulan gaya bahasa erotesis adalah gaya bahasa yang bertujuan
untuk mencapai efekyang lebih mendalam tanpa membutuhkan jawaban, contoh:
rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara
ini?
d.
Klimaks
Keraf
(2004: 124) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa
yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat
kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Jadi dapat dijelaskan klimaks
adalah pemaparan pikiran atau hal berturut-turut dari sederhana dan kurang
penting meningkat kepada hal atau gagasan yang penting atau kompleks, contoh:
generasi muda dapat mentediakan, mencurahkan, mengorbankan seluruh jiwa raganya
kepada bangsa.
e. Repetisi
Keraf
(2004: 127) berpendapat bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata
atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk member tekanan dalam sebuah
konteks yang nyata. Hadi (2008: 2) berpendapat repetisi juga dapat diartikan
dengan sebuah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata
atau beberapa kata berkali-kali yang biasanya dipergunakan dalam pidato. Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang
mengulang kata-kata sebagai suatu penegasan terhadap maksudnya, contoh: kita
junjung dia sebagai pemimpin, kita junjung dia sebagai pelindung.
f.
Anti
klimaks
Keraf
(2004: 124) berpendapat bahwa anti klimaks adalah gaya bahasa yang
gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan
yang kurang penting. Hadi (2008: 2) berpendapat anti klimaks juga dapat
diartikan sebagai gaya bahasa kebalikan dari klimaks. Dari pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa antiklimaks adalah gaya bahasa yang susunan
ungkapannya disusun makin lama makin menurun, contoh: bukan hanya Kepala
Sekolah dan Guru yang mengumpulkan dana untuk korban kerusuhan, para murid ikut
menyumbang semampu mereka.
4.3
Penelitian Relevan
Hasil
Penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan pada
penelitian ini adalah:
1.
Ririh Yuli Atminingsih dalam penelitian
berjudul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi Karya
Andrea Hirata”. Dalam kesimpulannya gaya bahasa yang digunakan dalam Novel Laskar
Pelangi antara lain: personifikasi, hiperbola, antitesis, simile, metafora,
epizeukis, eponim, anadipsis, repetisi, parifrasis, tautologi, koreksio,
pleonasme, ironi, paradoks, satire, hipalase, innuendo, metonomia, sinekdoke
pars prototo, sinekdoke totum pro parte, alusio, epitet, antonomasia, ellipsis,
asidenton, tautotes, anaphora, pertanyaan retoris. Ririh juga menyatakan alasan
pengarang menggunakan gaya bahasa pada novel Laskar Pelangi adalah untuk
mengungkapkan ekspresi jiwa atau perasaan tertentu, untuk menunjukkan
kreativitas seni dalam bentuk bahasa, untuk membangkitkan inajinasi pembaca,
untuk memberikan kesan keindahan pada novel, untuk memperjelas makna kata,
untuk menampilkan variasi dan gaya yang berbeda dengan karangan novel
lain.Persamaan karya ilmiah Ririh Yuli Atminingsih dengan penelitian ini yaitu
sama-sama mengkaji gaya bahasa dalam
novel . Perbedaannya adalah terdapat dalam penelitian. Karya ilmiah Ririh dalam
penelitiannya terdapat nilai-nilai pendidikan dalam novel sang pemimpi. sedangkan dalam karya ilmiah penelitian ini hanya
membahas tentang gaya bahasa berupa majas personifikasi dan hiperbola dalam
Novel Negeri 5 Menara.
2. Triyatmi
dalam penetian berjudul “Kajian Gaya Bahasa dalam Kain Rentang Kampanye Pemilu
2004” penelitian ini disimpulkan: 1) Gaya bahasa yang digunakan dalam kain
rentang kampanye 2004, baik kampanye legislative, calon presiden, dan calon
wakil presiden sebagai berikut: a) Empat jenis gaya bahasa yang digunakan: (1)
Gaya bahasa perbandingan meliputi eufemisme, epitet, hiperbola, simile,
personifikasi, sinekdoke, dan asosiasi; (2) Gaya bahasa perulangan, meliputi
anaphora dan aliterasi; (3) Gaya Bahasa sindiran (satire); (4) Gaya bahasa
pertentangan (oksimoron). b) Tidak ditemukan gaya bahasa penegasan. c) Gaya
bahasa yang sering digunakan dalam kain rentang kampanye 2004 adalah eufemisme
dan epitet. 2) Alasan penggunaan gaya bahasa pada kain rentang kampanye 2004,
yaitu: a) Penyesuaiaan konsep yang menjadi dasar penulisan kain rentang oleh
masing-masing tim sukses partai; b) Kain rentang yang dibuat merupakan salah
satu media publikasi yang digunakan untuk sosialisasi program kerja partai yang
bersangkutan; c) Bahasa yang sederhana, simpatik, dan meyakinkan merupakan
media yang mudah diingat dan menarik perhatian massa calon pemilih. Persamaan
karya ilmiah Triyatmi dengan penulis yaitu sama-sama mengkaji gaya bahasa,
tetapi dalam simpulan karya ilmiah Triyatmi tidak ditemukan gaya bahasa
penegasan. Perbedaannya adalah objek yang diteliti. Objek yang diteliti
Triyatmi adalah kain rentang kampanye pemilu 2004, sedangkan penelitian ini
objek yang diteliti adalah novel negeri 5 menara karya a.fuadi.